Kisruh PPBD, Ratusan Siswa di Kota Tasikmalaya Terancam Putus Sekolahab
RADAR TASIK TV - Kepulan asap hitam nampak memenuhi areal Bale Kota Tasikmalaya pada senin siang. Asap tersebut bukan karena kebakaran, melainkan asap dari bakar ban yang dilakukan oleh para pengunjuk rasa atas polemik PPDB di tahun 2024.
Aksi ini dilakukan oleh Forum Parlemen Jalanan Pemerhati Pendidikan (FPJPP) yang meminta Penjabat Wali Kota Tasikmalaya, Cheka Virgowansyah, bertanggungjawab atas masa depan pendidikan anak-anak mereka.
BACA JUGA:Bakal Calon Wali Kota Tasikmalaya Hj. Nurhayati Tampung Aspirasi Ibu-ibu Pengajian
BACA JUGA:Yanto Oce Kantongi Dukungan Warga Di Bungursari Untuk Menangkan Pilkada 2024
FPJPP mencatat, ratusan siswa terancam putus sekolah dampak adanya sistem zonasi yang menyulitkan mereka, sedangkan kuota jalur prestasi dan afirmasi sangat terbatas. FPJPP menyayangkan tidak adanya kebijakan untuk menambah kuota siswa per kelas.
Padahal hal itu bisa saja dilakukan jika Pemerintah Kota Tasikmalaya bersinergi dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
"Sebetulnya logika saja ya, sma itu ada 10 dan setiap rombel (rombongan belajar) itu 36. Nah kalau saja mau ada kesinergian antara provinsi dengan kota, ada kesepakatan untuk menambah per kelas 4 orang saja menjadi 40. Misalkan dalam satu sekolah itu ada 10 kelas, berarti sudah 40. Kalikan 10 sekolah sudah 400 teraman kan. Itu untuk menambah bangku," jelas tatang.
Sementara itu, Pj Wali Kota Tasikmalaya tak kunjung menemui massa aksi. asisten daerah dua, H Tedi Setiadi, menyebut pihaknya akan menyampaikan aspirasi yang disampaikan forum.
BACA JUGA:Pj Wali Kota Umumkan Angka Kemiskinan Kota Tasik Kembali Turun, ini Angkanya
"Kami akan sampaikan ke apa yang jadi tuntutan ke pj walikota. Sebenarnya kami juga siapkan lahan di kecamatan bungursari untuk sekolah negeri. Namun pihak provinsi belum membangunnya,"ujar Tedi.
Ada lima catatan yang disampaikan FPJPP saat di Bale Kota Tasikmalaya, diantaranya menduga Pemerintah Kota Tasikmalaya diskriminatif, terhadap siswa yang tak tembus batas zonasi.
Kedua objektivitas, hitungan jarak jalur zonasi. Ketiga ihwal transparansi, yang dinilai menjadi eksklusif, keempat akuntabilitas, meminta pemkot turut bertanggung jawab.
Kelima, pengujuk rasa menilai blank spot zonasi akan terus menjadi masalah setiap tahunnya.