Dugaan dilontarkan terkait penggunaan aset yang murah bahkan aset yang tidak dibuat dari awal, penggunaan anggaran besar seharusnya tidak mengorbankan kualitas demi efesiensi biaya.
3. Perbandingan dengan film animasi Jumbo
Beberapa medai menyoroti perbandingan yang sangat jauh dengan animasi Jumbo yang memiliki kualitas produksi dan cerita yang lebih memikat.
Dengan kata lain banyak orang mengkritik animasi Merah Putih: One for All, bahwa film ini memiliki visual yang tidak bisa ditawar, alias jauh dari standar yang diharapkan.
4. Kritik dan Sutradara terkenal dan DPR RI
Sutradara Hanung Bramntyo seorang sutradara terkenal mempertanyakan alasan film tersebut bisa mendapat slot tayang di bioskop.
BACA JUGA:Mengupas Tuntas Film Korea Veranda Genre Thriller Romantis yang Menjanjikan Yuk Simak Selengkapnya!
BACA JUGA:Menelusuri Urutan Film Fast and Furious Dari Awal Hingga Terbaru, Mana yang Paling Seru?
Menurutnya, masih banyak ratusan judul film Indonesia yang masih antre untuk dapat diputar di bioskop. Di sisi lain, komisi X DPR RI dan anggota DPR seperti Lalu Hadrian Irfani turut memberikan komentar akan film tersebut.
Film animasi kompetitif memerlukan setidaknya dana minimal Rp 30- 40 miliar di luar biaya promosi, serta waktu produksi empat hingga lima tahun.
Menurut beliau, masih banyak kelemahan yang nampak pada film itu, terutama soal kualitas visual dan urgensi penayangan yang terkesan terburu-buru.
5. Proses pembuatan yang terburu-buru
Publik merasa bahwa film ini diproduksi dengan waktu yang terlalu singkat, serta kurang transparasi mengenai latar belakang studio pembuatannya.
Bentuk karakter yang terkesan asal-asalan menjadi kritikan tajam bagi sutradara pembuat film tersebut, karena di anggap tidak mempersiapkan matang-matang selama proses pembuatannya.
6. Tanggapan Sutradara Film Merah Putih: One for
Sutradara Endiarto menegaskan bahwa pemilihan gaya animasi yang sederhana adalah suatu keputusan yang disengaja.