RADARTASIKTV.ID - Seharusnya Sudan sedang merayakan demokrasi. Seharusnya anak-anak Sudan sedang bermimpi tentang masa depan yang cerah. Seharusnya para pemuda yang berani turun ke jalan pada 2019 kini menikmati buah dari keberanian mereka.
Tapi kenyataannya? Sudan tenggelam dalam lautan darah akibat perebutan kekuasaan antara dua kekuatan militer: Sudanese Armed Forces (SAF) dan Rapid Support Forces (RSF). Ini bukan sekadar konflik politik biasa.
Ini adalah tragedi kemanusiaan yang telah merenggut lebih dari 150.000 nyawa, memaksa 12 juta orang meninggalkan rumah, dan menempatkan 30 juta jiwa dua pertiga populasi Sudan dalam bayang-bayang kelaparan. Dan yang paling menyakitkan, semua ini terjadi karena dua orang: Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, yang lebih dikenal sebagai Hemedti.
Ada ironi yang tragis dalam cerita ini. Al-Burhan dan Hemedti dulunya adalah sekutu. Pada April 2019, ketika rakyat Sudan berjuang menumbangkan diktator Omar al-Bashir yang berkuasa hampir 30 tahun, kedua jenderal ini bahu-membahu. Mereka adalah "penyelamat" yang menggulingkan rezim tiran.
Dunia memuji Sudan sebagai mercusuar harapan demokrasi di Afrika. Tapi di balik layar, drama kekuasaan sudah mulai dimainkan. SAF, sebagai angkatan bersenjata resmi dengan jet tempur, tank, dan artileri berat, merasa sebagai pemilik sah negara.
Sementara RSF, pasukan paramiliter yang berawal dari milisi Janjaweed yang brutal, telah tumbuh menjadi kekuatan dengan 100.000 personel dan kekayaan dari tambang emas ilegal di Darfur.
BACA JUGA:Cetak Sejarah Baru, Persikotas Sabet Juara Liga 4 Seri 1 Piala Gubernur Jawa Barat 2025
BACA JUGA:Persikotas Dapat Bonus Rp 50 Juta Dari Pemkot, Pemain Berstatus Mahasiswa Gratis UKT
Ketika datang waktu untuk mengintegrasikan RSF ke dalam struktur militer nasional sebuah langkah krusial menuju demokrasi perpecahan itu pun menyeruak. Al-Burhan menginginkan integrasi cepat dengan RSF di bawah komando penuh SAF. Hemedti menolak mentah-mentah. Baginya, ini bukan soal patriotisme atau demokrasi. Ini soal mempertahankan kekuasaan dan kekayaan yang telah ia bangun.
Banyak yang awalnya mengira SAF akan mudah menang. Mereka memiliki keunggulan persenjataan jet tempur, tank modern, artileri berat. Tapi RSF, yang dipimpin oleh mantan penggembala unta yang cerdik, membuktikan diri sebagai lawan tangguh dengan taktik gerilya yang efektif. Pada Agustus 2023, al-Burhan bahkan harus mengungsi dari Khartoum ke Port Sudan.
Pada Desember tahun yang sama, RSF merebut Wad Medani, lumbung pangan Sudan. Untuk sesaat, kemenangan RSF terlihat nyata. Namun mulai 2024, SAF bangkit. Pada Maret 2025, mereka merebut kembali Khartoum dalam pertempuran yang mengerikan. Tapi kemenangan ini hanyalah ilusi. Karena pada Oktober 2025, RSF merebut El-Fasher kota terakhir di Darfur yang masih dikuasai SAF.
Jatuhnya El-Fasher bukan sekadar kekalahan militer. Ini adalah bencana kemanusiaan. Kota yang menjadi rumah bagi 1,5 juta orang, tempat berlindung ratusan ribu pengungsi, dikepung selama 18 bulan tanpa makanan dan bantuan medis. Ketika RSF akhirnya masuk, yang terjadi adalah pembantaian. Video-video mengerikan beredar: ratusan mayat di jalanan, eksekusi brutal, hampir 500 orang tewas di rumah sakit yang seharusnya menjadi tempat perlindungan.
Bagi yang mengenal sejarah Sudan, apa yang terjadi di Darfur hari ini terasa seperti déjà vu yang mengerikan. RSF adalah reinkarnasi dari Janjaweed milisi "setan berkuda" yang pada awal 2000-an melakukan pembantaian massal terhadap kelompok etnis non-Arab.
BACA JUGA:Gedung Kepemudaan Kota Banjar Nampak Tak Terawat, Pembina Posnu: Aset Jangan Sampai Terbengkalai
BACA JUGA:Polres Banjar Kenalkan Layanan 110 Bebas Pulsa, Layani Laporan Masyarakat 24 Jam Non Stop