Dan kini, sejarah berulang dengan lebih kejam. RSF dan milisi Arab sekutunya menyasar komunitas Masalit, Fur, Zaghawa, dan Berti. Pembunuhan massal, pemerkosaan sistematis bahkan terhadap anak berusia satu tahun menurut UNICEF pembakaran desa, dan pengusiran paksa.
Ini bukan kejahatan perang biasa. Amerika Serikat pada Januari 2025 menyebutnya dengan nama yang seharusnya membuat dunia terbangun: genosida. Genosida. Kata yang seharusnya membuat kita semua berhenti dan bertanya: "Bagaimana ini bisa terjadi lagi? Bukankah kita pernah berjanji 'never again' setelah Rwanda, setelah Bosnia?"
Tapi janji itu rupanya hanya untuk sebagian orang. Untuk Sudan, untuk Afrika, dunia sepertinya punya standar yang berbeda.
Di tengah pertempuran, ada senjata yang lebih kejam dari peluru dan bom: kelaparan. Lebih dari 30 juta orang Sudan membutuhkan bantuan kemanusiaan. Sudan kini menghadapi krisis kelaparan terbesar di dunia. Ini bukan kelaparan yang terjadi begitu saja.
Ini kelaparan yang direkayasa, yang disengaja. Kedua faksi dengan sistematis menargetkan wilayah pertanian, mengusir petani, memutus jalur pasokan. Mereka menghalangi bantuan kemanusiaan dengan birokrasi yang berbelit atau bahkan dengan kekerasan langsung.
BACA JUGA:Mahasiswa Didorong Jadi Pelaku Industri Kreatif 5.0, Tingkatkan Kompetensi Perluas Kesempatan Karir
SAF menciptakan "dinding tersembunyi" melalui Komisi Bantuan Kemanusiaan yang membuat hampir mustahil bagi lembaga bantuan mencapai wilayah yang dikuasai RSF. Di sisi lain, RSF mengepung kota-kota, membangun tembok tanah untuk menjebak penduduk, menjarah pasokan bantuan. Bayangkan seorang ibu yang harus menonton anak-anaknya perlahan-lahan lapar sampai mati. Bayangkan seorang dokter yang harus memilih siapa yang akan mendapat makanan terbatas yang tersedia.
Bayangkan anak-anak dengan perut membuncit karena malnutrisi, terlalu lemah untuk bahkan menangis. Ini bukan efek samping perang. Ini adalah strategi perang. Membunuh dengan kelaparan, melakukan pembersihan etnis dengan membuat hidup menjadi tidak mungkin.
Yang membuat hati saya hancur sebagai penulis adalah sikap dunia internasional. Lebih dari 150.000 orang tewas mungkin jauh lebih banyak. Dua belas juta pengungsi. Tiga puluh juta orang kelaparan. Tuduhan genosida yang dikonfirmasi oleh Amerika Serikat.
Tapi di mana perhatian media global? Di mana demonstrasi solidaritas? Di mana bantuan masif yang kita lihat diberikan untuk konflik di tempat lain? Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan dengan jujur yang tidak berani dikatakan banyak orang: "Saya pikir masalah rasial berperan di sini." Dan dia benar. Ketika konflik terjadi di Eropa atau Timur Tengah, dunia bergerak. Media meliput 24/7. Bantuan mengalir. T
api untuk Sudan? Keheningan yang memekakkan telinga. International Crisis Group menyebutnya "upaya diplomatik yang lesu." Saya menyebutnya pengabaian yang disengaja. Lebih menyakitkan lagi, negara-negara regional malah memperburuk situasi. UEA mengirim senjata ke RSF, memperkaya diri dari emas Sudan yang dijarah.
Mesir dan Arab Saudi mendukung SAF dengan senjata dan dana. Semuanya bermain untuk kepentingan mereka sendiri, sementara rakyat Sudan terus menjadi pion dalam permainan geopolitik yang kejam.
Apa yang membuat situasi ini semakin tragis adalah tidak ada akhir yang terlihat. Kebencian antara al-Burhan dan Hemedti sudah terlalu dalam untuk didamaikan. Serangan yang menewaskan 35 pengawal al-Burhan menciptakan luka yang tidak akan pernah sembuh.
Di sisi lain, Hemedti tahu bahwa kejahatan yang dilakukan pasukannya membuat rekonsiliasi menjadi mustahil. Kedua pihak memiliki terlalu banyak yang dipertaruhkan kekuasaan, kekayaan, bahkan kehidupan mereka sendiri. Tidak ada insentif untuk berdamai ketika kalah berarti kehilangan segalanya.
Yang lebih mengerikan, Sudan kini terancam terpecah seperti Libyadengan dua pemerintahan paralel, konflik berkepanjangan, dan ketidakstabilan yang bisa berlangsung puluhan tahun. Generasi anak-anak Sudan akan tumbuh hanya mengenal perang, kelaparan, dan ketakutan.